Contoh Cerpen-Bukan Untuk Logika




Bukan untuk logika
          Wanita itu tertegun di pojok kamar. Terguling tertelentang menatap kosong langit-langit kamar. Tangannya bersendekap, namun  terkadang tergerak juga, meninju-ninju dinding kamar.
          Siapa namanya? Apa yang mengganggunya? Apa yang Ia rasakan? Tak perlu aku tanyakan. Aku tahu persis akan hal itu. Catat, aku tahu persis.
          Suasana malam senyap. Jalan telah lengang. Satu-satunya sumber bunyi hanyalah suara Kipas angin yang berputar kencang, meniupkan udara yang mulai mendinginkan telapak kaki si wanita.
          Wanita itu tetap masih tampak kusut. Menerawang langit-langit dan memukuli dinding lagi-lagi masih menjadi aktivitasnya malam itu.
Aku ingin tersenyum menguatkannya, tapi yang timbul hanyalah tatapan belas kasihan. Getir sekali rasanya. Aku merunduk.
Suasana makin sepi, tapi aku tak peduli. Hati wanita itu lebih sepi. Rasanya seperti kau berdiri sendirian di tengah hutan pada musim gugur. Ketika sekitar mu dipenuhi daun kuning dan coklat. Ketika yang kau lihat hanyalah pohon dan ranting serupa cakar.  Ketika…ketika yang kau dengar hanya degup jantugmu saja.
Dia tak berteman…
Duarr…duarrr..duaar.. ribuan suara kencang itu menyerang langit. Memekakan telinga, menyambar-nyambar satu sama lain.
Aku terlonjak. Si wanita tidak. Dia hanya bangkit dari tidurnya. Duduk bersandar dan kembali menatap langit-langit kamar.
“Ternyata puncaknya telah tiba.” Desah Si wanita.
Aku meandangnya getir, sekali lagi. Jika aku dapat menangis, aku akan menangis untuknya, aku ingin tunjukan betapa aku menyayainya. Betapa berat mendegar desahan otaknya.
Kembang api terus merekah hebat, meledak-ledak dengan bunyi keras seperti hanya berjarak sekilan dari cupingku.
Si wanita masih duduk bersandar, namun tak lagi tengadah ke langit-langit. Matanya tengah menimbang-nimbang. Dan aku tahu apa yang ia ragukan. Malam ini akan ada yang berdamai.
Aku beranjak dari tempatku bediri. Menyusuri rak-rak buku dan meja belajar. Aku tahu apa yang akan terjadi dan aku tak akan menggangunya. Si wanita itu akan berdamai. Entah berhasil atau tidak. 
             Sebuah lembaran kertas menghentikanku, dan aku tahu persis kertas apa itu. Selembar kertas  dengan sembilan buah foto yang tercetak. Si wanita itu pasti belum sempat mengguntingnya. Ia belum sempat mengguntingya hanya karena suasana hati yang berubah.
          Sembilan foto dirinya bersama kawan-kawan selama dua dekade ini. Dirinya tampak bahagia disetiap foto yang tercetak, tapi apakah itu benar? Aku atau Si wanita, pasti tahu jawabanya.
          Suara cekikikan tawa muda-mudi yang negbut besepeda motor di jalanan mengganguku sesaat, menyadarkanku bahwa aku telah tak berdiri di pojok kamar Si wanita lagi. Aku berdiri di  pinggir jalan. Jalan besar yang ramai. Aku tak terlalu mengenal daerah ini, namun aku tahu di mana aku berada. Ini jalan menuju stadion terbesar di kotaku.
          Dua orang muda-mudi berjalan bergandengan di depan wajahku, sangat sibuk dengan diri mereka sehingga tak perduli walau hamper menabrak ku.
          Langit menghasilakan kegelap pekat dengan sempurna, namun ribuan lampu jalan seolah ingin melawannya, pun ribuan manusia disini juga. Mereka tak ingin tidur, mereka ingin bergembira ria malam ini juga.
          Menyenangkan sekali. Berjalan dengan kekasihmu atau sahabatmu atau siapalah yang akan menemanimu malam ini. Hal yang selalu ingin aku rasakan, namun tak pernah terjadi.
          Aku berjalan sendiri. Sepi rasanya. Sendirian ditengah keramaian. Menangis ditengah suasana yang penuh luapan kebahagian.
          Angin mendesau, memilin-milin anak rambutku. Tertatap olehku dua pasang muda-mudi yang berbaju sama. Dua wanita itu, mereka berwajah sama.
          “Berpacaran dengan si kembar, huh.” Gumamku.
          Mereka bercakap lalu terbahak, riang sekali. Aku ikut tersenyum. Andai aku juga memiliki kekasih, berpacaran seperti itu.
Angin bertiup kencang, tiba-tiba. Lampu yang terang menjadi redup, seperti ada payung besar yang menelungkupinya. Berberapa orang terlihat terkejut, namun segera tak menghiraukan karena itu hanya sesaat. Akupun begitu, namun belum sempat aku mengalih, dentuman kencang hadir memekakkan telinga. Suaranya mungkin dua atau tiga kali lipat dari suara pendaratan pesawat terbang. Mungkin sangking kencangnya, aku piker sebentar lagi aku pasti akan tuli.
Sepersekian detik berlalu, namun aku salah, aku tak tuli. Namun aku tak heran, karena yang lebih mengherankanku adalah tak satupun dari mereka yang disekitarku Nampak mendengar bunyi itu. Mereka tampak tenang.
Aku mengadah menuju langit, payung besar  hitam itu masih ada. Namun angin mendesau lembut, seperti semula.
Aku ingin berjalan lagi, namun wajah si kembar mengingatkanku pada Si wanita. Aku ingin melihat dia. Entah bagaimana hasil berdamainya. Aku membalikan badan, namun kini aku sudah di depan rumah. Rumah mungil bercat pastel milik Si wanita.
Suara kembang api sudah tak ada. Suara riuh rendah para tetangga yang bakar-bakar ria pun lenyap, mungkin jagungnya telah habis, atau ungkin juga mereka telah mengantuk atau mungkin yah, apalah. Intinya sekarang hening.
Aku berjalan menuju kamarnya dengan senang karena bisa berjalan-jalan ditengan letupan kembang api tahun ini. Hal yang kuimpikan selama ini.
Selangkah lagi menuju pintu. Namun aku tak sanggup lagi melangkah. Aku mendongak segera, mengadah menatap langit. Kedua kakiku gemetar tak terperikan. Rasa takut jauh menghujam hatiku.
Ribuan sayap putih terbentang menaungi atap rumah. Putih, bersih, berkilauan indah bagai berlian yang terindah. Setiap sayap memancarkan cahaya terang yang menerangkan namun tak menyilaukan. Bagai bubuk-bubuk peri di dalam film begitulah bubuk-bubuk itu tumpah ruah dari sela-sela bulu sayap. Mengeluarkan wewangian lebut yang berbeda setiap ia tersentuh benda.
Aku tergugu. Apa yang terjadi? aku menduga-duga. Bak bisa mendengar suara di kepalaku, sesuatu membuatku telah berada di pojok kamar tempat pertama aku berdiri. Aku terbelalak. Air mataku tumpah ruah disusul kakiku yang lemas hingga aku tersungkur.
Wanita itu telah berdamai. Dia telah berhasil berdamai. Berdamai dengan hatinya yang membatu. Berdamai meminta pengampunan pada Tuhan Yang Maha Esa. Wanita itu tengah mengharu biru dalam sujudnya. Ia menangisi dosa-dosanya. Ia menangisi dosa-dosa orang tuanya. Ia menangisi betapa banyak nikmat yang Allah beri padanya. Ia menangisi, betapa Ia kufur terhadap nikmat-Nya. Ia menangis, Ia menagis karena rindu dengan Rabb-nya.
Aku terus menangis, menangis karena banyak hal. Pertama, Aku menyesal karena menghabiskan mala mini dibawah payung hitam. Kedua, aku brsyukur karena yang pergi malam ini aku bukan dia. Terima kasih Tuhan telah menghalanginya untuk sesuatu yang tak baik baginya.
          Si wanita tersenyum. Aku tahu hatinya telah luar biasa damai. Ia melepas mungkenanya, beranjak menuju kasur.
Jika selama ini kami selalu mengetahui semuanya bersama, namun tidak kali ini. Kali ini hanya aku yang akan mengetahui, ya…mengetahui peristiwa ini.
Si wanita ingin bernjak tidur. Aku tersenyum sekali lagi, bangga menatapnya. Menatap diriku….

                

0 Response to "Contoh Cerpen-Bukan Untuk Logika"

Post a Comment